Sabtu, 30 November 2019

Pt.1

Ankaa

Kemarin Ayah dan Ibu berpisah.

Ayah ketahuan menikah lagi dengan wanita lain padahal masih terikat status menikah dengan Ibu. Lalu setelahnya, Ibu meminta cerai. Meninggalkan aku beserta adik-adik di rumah dengan mengatakan, "uang ini untuk kalian. Maafkan Ibu karena harus meninggalkan kalian. Hiduplah dengan baik."

Persetan dengan uang atau kata maaf. Aku bahkan hanya peduli pada kalimat terakhir yang Ibu lontarkan, hidup dengan baik katanya? Wah, yang benar saja, bagaimana bisa ia mengatakan kalimat itu saat ia ingin pergi meninggalkan anak-anaknya tanpa menoleh sedikit pun pada kami?

Dan tadi pagi, Ayah mengikuti jejak Ibu untuk pergi. Berbeda dengan wanita yang melahirkanku itu, Ayah lebih memilih untuk pergi tanpa aksara. Hanya membawa tas berisi pakaiannya dan acuh pada presensiku maupun Bentala dan Bada.

Hingga di sini lah kami berakhir. Entah harus melakukan apa karena dua materi terpenting dari semesta kecil kami telah pergi; hancur menyisakan gores luka untuk materi yang lain.

"Bada, kenapa tidak bersekolah, hm?" Aku menghampiri Bada yang tengah duduk di tepi jendela kamarnya. Menatap jajaran pot  yang terisi berbagai jenis bunga beragam warna; kebiasaan Ibu saat masih ada di sini.

Tanpa menoleh padaku yang berdiri di tengah kamarnya, Bada menjawab lirih. Begitu pilu dan terdengar menyakitkan. "Untuk apa bersekolah kalau sudah tidak ada lagi yang bisa melihatku dengan tatapan bangga?"

Aku menghela napas, lelah atas kejadian semalam yang menimpa keluarga ini juga atas perkataan Bada yang menusuk hati.

Berjalan mendekat padanya, aku pun menyentuh bahu adikku itu. "Masih ada aku dan Tala, kau bisa menunjukkan prestasimu pada kami."

Bada bergeming. Surai cokelatnya yang sudah terlihat sedikit lebih panjang itu tertiup angin, wajahnya terlihat sendu. Aku yakin ada banyak luka di dalam sana akibat seluruh rentetan kejadian semalam.

Dan begitu sekon berikutnya berlalu dengan Bada yang ikut berdiri dan melangkahkan tungkainya menuju pintu, aku semakin yakin kalau ia benar merasa sakit karena kepergian Ayah dan Ibu.

"Kau dan Kak Tala berbeda dengan Ibu maupun Ayah. Kalian hanya kakak, bukan orangtua."

***

Bentala

Dulu Ayah pernah berkata pada kami; tentang makna dari nama tiap-tiap anak lelakinya. "Ankaa Bumantara berarti bintang paling terang di langit. Lalu Bentala Raharja mempunyai arti tanah yang makmur. Sedangkan Bada Adiwarna bermakna laut yang elok."

Kemudian, kami semua berdecak kagum. Tidak menyangka kalau arti dari nama kami sebegitu cantiknya. Ibu juga pernah bilang kalau Bada itu artinya laut; Ibu menggunakan bahasa Korea sebab ia sangat menyukai negeri penghasil gingseng merah itu.

Tapi semua itu rasanya percuma saja kalau Ayah dan Ibu tetap pergi meninggalkan kami; acuh pada sekon kehidupan berikutnya milik kami bertiga.

Belum genap sehari mereka pergi, puing-puing semesta yang kini terombang-ambing karena porosnya mendadak lebur, mulai renggang secara perlahan. Tidak ada kata sapa, tidak pula ada kurva yang melekat pada belah labium.

Aku sendiri pun memilih untuk bungkam, mencoba menghindar dari Kak Ankaa dan Bada. Entah mengapa aku merasa kalau kini egoku semakin besar semenjak Ibu memilih pergi lalu setelahnya Ayah pun ikut melepas tautan tangannya pada kami.

Aku mulai acuh, mulai merasa kalau-kalau semua ini terjadi sebab Kak Ankaa yang sibuk bekerja dan juga Bada yang terlalu manja. Sedangkan aku, kupikir aku tidak ikut andil dalam kesalahan yang mereka perbuat.

Hanya saja, semakin terasa sesak kala aku menyadari akan satu hal yang semenjak dahulu berusaha aku tepis.

Bahwa Ayah pernah berkata, "Tala persis sekali seperti Ayah, egomu sama besarnya dengan milikku, Nak."

***

Bada

Pada awalnya aku berpikir kalau menikah itu hal yang menyenangkan. Membayangkan bagaimana setiap insan menemukan pasangan masing-masing kemudian bermandi cinta yang begitu kental dari tiap-tiap entitas. Menjalani hari bersama pasangan sehidup semati dan setelahnya lahirlah tangisan buah hati hasil dari pengikatan kedua belah pihak yang dimadu asmara.

Namun aku mulai menyadari sesuatu; tidak semua yang didasari cinta dan berujung dengan janji suci juga akan memiliki akhir yang membahagiakan.

Tidak ada pasangan sehidup semati, tidak ada buah hati yang masih didambakan, tidak pula setitik rasa bahagia yang tersisa.

Ada kalanya, pernikahan berakhir dengan kata pisah. Meninggalkan lubang yang begitu dalam pada pilar-pilar kehidupan tiap eksistensi yang berada di dalamnya.

Dan itulah yang terjadi pada semesta kecil kami. Tetes air mata mulai luruh, sedangkan luka yang tertinggal semakin menganga; memberi rasa perih pada hati yang sebentar lagi akan hancur.

Bukannya aku terlalu mendramatisir keadaan, hanya saja ini semua memang terasa berat untukku. Bagaimana cara Ibu pergi dengan sebegitu acuhnya, juga Ayah yang bahkan tidak peduli pada presensi kami. Itu semua terasa menyakitkan.

Semestaku sudah tidak memiliki Mentari, tidak pula Rembulan yang seharusnya memegang erat sinar yang tersisa agar semesta kami tidak berubah kelam. Aku hancur, kami semua hancur.

Dan aku sudah tidak memiliki harapan untuk tetap hidup.[]

Catatan penulis: 

Ini masih dalam tahap perkenalan, lets start it slowly. Pada part berikutnya akan mulai muncul problems dari tiap-tiap karakter. See ya!

Prolog

Semesta.

***
"Semesta tidak akan lengkap tanpa adanya Mentari dan Rembulan. Begitu pula keluarga kecil kami tanpa adanya Ibu dan Ayah."

***

Family | Slice of Life | Angst | Hurt Comfort

***

Cast:

Ankaa Bumantara (25)


"Tetap harus melindungi rumah ini, karena Ibu mempercayaiku."


Bentala Raharja (22)


"Rasanya sulit saat harus membagi sayang pada Kak Ankaa dan Bada."



Bada Adiwarna (18)


"Bada memang terlampau bodoh. Bagaimana bisa aku menyakiti Kak Ankaa dan Kak Tala sebegitu dalamnya?"
***

Garis horizon yang membentang indah di penghujung hari memang sedang ganas-ganasnya menerpa obsidian tiap entitas yang menyusuri jalan ini; membuat seluruh presensi yang ada di sana berdecak kagum karena eloknya semburat jingga di sudut langit.

Tapi berbeda dengan kecantikan senja yang sebentar lagi habis dimakan malam lalu Sang Dewi Bulan hendak menyombongkan diri atas kuasanya pada langit, semesta yang kini tengah berada di ambang kehancuran pun akhirnya luluh lantak. Menyisakan tetes pilu yang mungkin tidak akan pernah bisa dilupakan oleh tiap-tiap penghuni semesta kecil itu.

Mentari dan Rembulan si semesta sudah pergi, membawa amarah masing-masing yang sudah tidak dapat dibendung lagi. Meninggalkan puing-puing semesta yang tidak tahu harus berporos pada siapa saat Mentari mereka telah pergi, begitu pula pada Rembulan yang sudah tidak dapat menerangi malam sendu mereka saat ini.

Di rumah penuh memori ini, Ankaa, Bentala, dan Bada harus sama-sama menumpahkan tangis saat kedua orang tua mereka memilih pergi tanpa menoleh kembali.[]

Catatan penulis: 

Pemeran yang hadir dalam cerita ini hanya visualisasi penulis semata. So if you aren't comfortable with that, you can imagine someone else being cast in this story. Hope you guys enjoy and happy reading!